Pengertian Matsuri jepang

 Pengertian Matsuri

Istilah matsuri dalam bahasa Jepang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan festival dan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pesta rakyat atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa bersejarah.[8] Istilah matsuri dalam bahasa Jepang merupakan kata benda, sedangkan kata kerjanya adalah matsuru yang berarti berdoa, bersembahyang, memuja, menyembah, mendewakan, dan mengabdikan diri di tempat suci. Dalam kamus Daijiten, matsuri diartikan dengan terjemahan menyembah leluhur dan dewa (Shinto dan Budha). Lalu memilih hari yang tepat untuk upacara dan menyucikan diri, memberikan sesembahan, kemudian berdoa, berterima kasih, menghibur roh, dan sebagainya. Oleh karenanya, istilah masturi tidak dapat disamakan dengan festival yang dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan sebagai pesta rakyat atau pekan gembira.

Kegiatan masturi pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan untuk mengundang dewa atau duduk di samping dewa, seperti yang djelaskan oleh Kunio Yanagita (1982 : 42) dan diterjemahkan “berada di samping dewa”. Mungkin dengan istilah lain dapat juga dikatakan melayani dewa, tetapi sebagai wujud konkretnya matsuri adalah suatu sikap menyambut kehadiran dewa, dengan menyajikan segala sajian yang ada dan dengan menunjukkan sikap mengabdikan diri pada dewa. Matsuri bukan berarti hanya menunjukkan penghormatan terhadap dewa dari kejauhan. Penjelasan Yanagita ini dapat disimpulkan bahwa matsuri merupakan upacara keagamaan yang bermaksud untuk berada di samping kami (dewa) atau dapat dikatakan sebagai upacara yang mendatangkan dewa guna mendekatkan diri pada dewa dengan menyajikan sajian suci yang dilakukan oleh Pendeta Shinto. Pada umumnya upacara ini mulai dilakukan pada malam hari dengan menyajikan yumike, yaitu sajian malam khusus untuk dewa dan akan berakhir pada pagi hari dengan sajian asamike, yaitu sajian pagi, sehingga upacara itu akan berlangsung selama dua hari satu malam.

Pengertian matsuri sesungguhnya merupakan upacara keagamaan untuk mengundang atau mendatangkan dewa atau peristiwa terjadinya pertemuan antara manusia dan dewa dengan tujuan untuk mendapatkan petunjuk dan berkah. Selanjutnya, Yanagita menjelaskan bahwa matsuri merupakan perilaku keagamaan orang Jepang, yaitu upacara keagamaan untuk menghormati dewa dan merupakan perwujudan kepercayaan orang Jepang yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-harinya. Tidak ada jalan lain menuju jalan dewa, kecuali menempuh satu-satunya jalan, yaitu matsuri.[9] Melalui matsuri ini masyarakat Jepang merasakan akan kehadiran dewa dalam kehidupan, dan matsuri dianggap sebagai kepercayaan bangsa Jepang. Umumnya baik tua maupun muda, masyarakat Jepang akan melaksanakan salah satu dari kegiatan matsuri ini secara periodik.

Bagi masyarakat Jepang, matsuri merupakan perwujudan perilaku keagamaan orang Jepang, tetapi matsuri bukan merupakan bentuk agama orang Jepang karena tidak terdapat kitab suci yang mengajarkan ajaran-ajarannya sebagai salah satu faktor yang harus dimiliki suatu agama, tidak memiliki pemuka agama atau nabi, tidak ada misi penyebaran dan tidak memiliki kelompok atau komuniti yang resmi. Pengikut matsuri tidak dicatat secara resmi dalam daftar keanggotaan suatu kelompok agama. Menurut Yanagita, matsuri merupakan suatu kesempatan yang memberi kesempatan untuk mendidik atau mengajarkan etika-etika keagamaan.

Dalam menyelenggarakan matsuri, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Sao

Sao adalah tiang yang ditegakkan di suatu tempat sebagai tanda bahwa di tempat itu akan diselenggarakan matsuri. Selain itu juga, sao dianggap sebagai tangga tempat turun naiknya dewa yang akan hadir pada saat matsuri. Bentuk sao ada bermacam-macam yaitu sao pohon, sao tongkat, sao nisan kuburan, sao tiang, dan sao campuran antara pohon dan tiang. Namun saat ini sao tongkat yang lebih banyak digunakan karena pohon yang akan dijadikan sao pohon sulit ditemukan yang memenuhi syarat. Sao biasanya diletakkan di altar kuil atau halaman kuil tempat diselenggarakannya matsuri.

b. Mono imi

Penyucian harus dilakukan ketika akan melaksanakan matsuri, oleh karena itu dalam melaksanakan matsuri, segala sesuatu harus dijauhkan dari segala macam unsur kotor. Mono imi biasanya dilakukan oleh para toya, yaitu pemimpin upacara ritual dalam matsuri itu sebagai orang yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan matsuri.

Selain ke dua faktor itu, menurut Kunio Yanagita ada lima faktor lain yang harus dipersiapkan dalam menyelenggarakan matsuri. Pertama, shinchi, yaitu faktor yang berkaitan dengan penempatan dewa sebagai objek pemujaan dalam matsuri. Kedua, shinya, yaitu faktor yang berkaitan dengan orang yang berperan dalam penyelenggaraan matsuri yang disebut dengan toya. Ketiga, shintai atau kamizawa, yaitu sektor yang berkaitan dengan kegiatan penyambutan dewa yang menjadi objek pemujaan dalam matsuri. Keempat, sekku atau shingu atau sechi, yaitu sajian suci untuk dewa dan yang ini berkaitan dengan sajian suci yang akan dipersembahkan kepada dewa. Kelima, saijitsu, yaitu penentuan waktu untuk pelaksanaan matsuri. Ada dua cara dalam menentukan waktu penyelenggaraan, yaitu berdasarkan penanggalan perputaran matahari atau yang disebut dengan penanggalan Masehi dan cara yang kedua berdasarkan sistem penanggalan Cina yang disebut dengan sistem penanggalan Kanshi. Pelaksanaan matsuri biasanya diselenggarakan pada malam hari, khususnya dilaksanakan ketika munculnya bulan purnama. Salah satu unsur lain dalam penentuan waktu yaitu matsuri biasanya diselenggarakan berhubungan dengan pergantian musim.[10]

Penyelenggaraan matsuri berdasarkan bentuknya dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu matsuri yang diselenggarakan secara aksidental yang lebih dikenal dengan istilah ninigire. Ninigire merupakan kegiatan matsuri yang diselenggarakan sesuai permintaan atau permohonan, misalnya ketika kelahiran seorang anak, maka orangtua akan pergi ke kuil untuk melaksanakan matsuri dengan tujuan agar anak itu akan menjadi anak yang baik. Matsuri juga diselenggarakan dengan tujuan agar terhindar dari segala marabahaya, matsuri yang diselenggarakan ketika terjadi kekeringan yang menyebabkan gagal panen dengan tujuan untuk minta hujan, dan masih banyak lagi matsuri yang diselengarakan secara ninigire. Biasanya matsuri ini diselenggarakan di kuil-kuil atau di tempat lain. Kategori kedua, matsuri yang diselenggarakan secara periodik atau dikenal dengan nenchugyoji, yaitu matsuri yang diselenggarakan secara tetap setiap tahun, misalnya O-Bon matsuri yang biasanya diselenggarakan setiap 13–16 Juli sebagai matsuri yang diselenggarakan dengan tujuan untuk mengenang arwah leluhur dan orang-orang yang telah meninggal.O-Shogatsu, yaitu matsuri yang diselenggarakan dalam rangka perayaan tahun baru, dan matsuri lain-lainnya yang diselenggarakan secara periodik setiap tahun

0 Response to "Pengertian Matsuri jepang"

Post a Comment